Beranda | Artikel
Hadis: Zuhud untuk Meraih Cinta Allah Azza Wajalla
23 jam lalu

الحمد لله رب العالمين و صلاة و سلام على رسولنا محمد و علىى آله و أصحابه أجمعين

اما بعد

Seluruh pujian hanya milik Allah Ta’ala Tuhan semesta alam. Selawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada keluarga serta sahabat beliau.

Pada zaman ini, generasi kita disuguhi dengan fenomena flexing dari kalangan orang kaya yang membuat konten untuk memamerkan harta dan kekayaan mereka. Dan dengan pengaruh media sosial yang luar biasa di kalangan anak muda, menjadikan konten-konten pamer kekayaan itu sangat dikagumi. Hingga menggiring generasi kita untuk mengejar harta dunia untuk meniru gaya konten kreator itu untuk memamerkan kekayaan di media sosial.

Oleh karena itu, kami merasa perlu untuk mengangkat salah satu faedah hadis ke-31 dalam Al-Arba’ín, yaitu zuhud. Dalam hadis ini, disebutkan bahwa ‘Zuhudlah, maka Allah akan mencintaimu’. Dan sudah seharusnya setiap muslim memiliki sifat zuhud untuk meraih cinta Allah ‘Azza Wajalla. Dengan memiliki sifat zuhud ini, setiap muslim diharapkan lebih mendahulukan akhirat daripada dunia.

Dalam tulisan ini, insyaAllah kami berusaha untuk menjelaskan hadis ke-31 dan kami berusaha menghadirkan penjelasan-penjelasan penguat dari kitab-kitab. InsyaAllah akan kami hadirkan poin-poin utama kemudian penjelasan lafaz-lafaz penting dalam hadis.

Teks hadis

عَنْ أَبي العَباس سَعدِ بنِ سَهلٍ السَّاعِدي رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُول الله: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمَلتُهُ أَحَبَّني اللهُ، وَأَحبَّني النَاسُ؟ فَقَالَ: (ازهَد في الدُّنيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وازهَد فيمَا عِندَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ) (1) حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة.

Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.” Beliau menjawab, “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya)

Penjelasan lafaz-lafaz dalam hadis

Di antaranya:

أحبني الله و احبني الناس

Ahabbaniyallahu adalah mengharapkan pahala dan kebaikan , sedangkan ahabbaniannasu cenderung pada kebiasaan, karena kecintaan mereka mengikuti kecintaan Allah. Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memberikan cinta-Nya ke dalam hati makhluk-Nya. Firman Allah,

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وُدًّۭا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)

ازهد

Dari kata zuhud, dalam bentuk kata perintah sehingga menjadi izhad, artinya: zuhudlah. Yaitu, perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi atau memiliki sifat zuhud pada dunia dan pada apa yang menjadi milik orang lain.

في الدنيا

Dengan menganggap kecil dan meremehkan. Karena Allah menilai dunia sebagai sesuatu yang kecil dan hina, mengingatkan akan tipu dayanya. Firman Allah,

فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا

“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu.” (QS. Luqman: 33)

Firman-Nya,

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)

يحبّك الله

Dengan ba’ bertasydid difathah, asalnya yuhbibka dengan di-jazm sebagai jawaban dari amr, maka ketika hendak di-idhgham-kan kasrah ba’ yang pertama dipindah ke huruf ha dan huruf ba’ yang kedua, difathahkan agar dua sukun tidak bertemu, dan meringankan. Makna cinta Allah kepada hamba-Nya adalah rida dan kebaikan-Nya kepada mereka.

Poin-poin utama hadis

Hadis ini menjelaskan dua wasiat agung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pertama: Zuhud terhadap dunia, dan bahwa zuhud adalah faktor penyebab kecintaan Allah kepada hamba-Nya.

Kedua: Zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan sarana mendapatkan kasih sayang dan cinta manusia.

Manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama mereka. Cinta Allah bisa diraih dengan mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana. Sedangkan kasih sayang sesama manusia bisa didapat dengan tidak serakah terhadap harta milik orang lain, dan lebih mengutamakan amal saleh. Dengan begitu, ia akan meraih kehormatan dan meraih amalan saleh. Karena amal saleh itu lebih baik dan lebih kekal di akhirat kelak.

Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata tentang hadis ini, “Hadis ini merupakan salah satu dari empat hadis yang menjadi sumber ajaran Islam.”

Penjelasan makna hadis

Orang yang memiliki sifat zuhud pandangannya sudah condong kepada akhirat. Jadi, ketika dia ingin melakukan sesuatu, atau membicarakan sesuatu, maka dia lihat ini bermanfaat di akhirat atau tidak. Kalau tidak bermanfaat untuk akhiratnya, maka dia tinggalkan. Ini tingkatan paling tinggi, paling berat. Jadi, zuhud itu tidak dari penampilan. Bukanlah orang yang memakai baju robek-robek, dan bukan menampakkan kemiskinan, kelemahan, kurang tidur. Itu bukan zuhud. Tetapi, zuhud meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat di akhirat walaupun orangnya kaya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mubarrak, walaupun orangnya kaya, tetapi ia zuhud. Sehingga beliau pun diprotes oleh jamaahnya, ‘Engkau menyuruh kami zuhud, tetapi engkau kaya.’ Lalu, Abdullah bin Mubarrak mengatakan, “Saya berbisnis, bekerja, dagang, saya punya harta untuk menjaga wajah ini dari meminta-minta.” Itulah hakikat dari zuhud.

Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu.” Tetap mencari dunia, tetapi dunia ini untuk akhiratnya, bukan karena terikat dengan dunia. Seandainya kita melakukan itu, kita akan dicintai Allah.

Zuhudlah dengan apa yang di tangan manusia (merasa tidak butuhlah dengan apa yang di tangan manusia), maka manusia akan mencintaimu.

Dalam kitab syarah-nya, Ibnu Abthar rahimallahu ta’ala berkata,

“Adapun mengapa orang zuhud di dunia adalah sebab dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena orang zuhud di dunia itu cintanya kepada akhirat jauh lebih besar. Sehingga, ketika seseorang cintanya kepada akhirat lebih besar, maka amalan-amalan yang dia lakukan adalah amalan yang akan mengantarkan pada kebahagiaan di akhirat.”

Kalau seandainya kita bisa menjadikan ini sebagai standar, maka lihat dari amalan-amalan kita, lebih besar mana cinta dunianya atau akhiratnya. Kalau seandainya kita bersemangat untuk mencari akhirat, kalau ada kesempatan untuk melakukan amalan akhirat, lalu kita semangat untuk melakukannya, insyaAllah kita cinta akhirat jauh lebih besar.

Karena cinta itu sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, ‘Cinta itu penggerak’, maka dari cinta ini juga, keluar rasa takut dan harap. Maka, kalau seandainya ada kesempatan berbuat untuk akhirat tetapi masih nanti-nanti, berarti cinta dunia kita masih lebih besar dari cinta akhirat.

Orang yang cinta akhirat, dia akan melakukan amalan-amalan, sehingga karena itu, Allah pun mencintainya. Karena cintanya lebih besar kepada akhirat, lalu dunianya diisi dengan amalan-amalan akhirat dan kalau pun beraktifitas dunia, tujuannya untuk mencari rida Allah, lagi-lagi untuk akhiratnya. Dia berbisnis, berdagang untuk dapat uang, kerja jadi pegawai, dapat uang gunanya untuk apa. Kalau seandainya sudah menikah, untuk nafkah, sedekah, zakat. Dia berharap seandainya jadi kaya, dia bisa pergi haji, tujuannya untuk akhirat.

Zuhud terhadap apa yang di tangan manusia. Dia tidak peduli dengan apa yang di tangan manusia. Dia tidak berharap apa-apa dengan sesuatu yang ada di tangan manusia. Mengapa itu menjadi sebab manusia mencintainya? Karena dunia itu hijau dan manis. Dilihat enak, dirasa juga enak. Dirindukan dan diinginkan pecinta dunia. Maka, ketika kita zuhud terhadap yang mereka miliki dan meninggalkan apa yang mereka cintai dan tidak ikut saingan, maka kita dicintai oleh penduduk dunia.

Mengapa orang tidak suka kalau kita menginginkan sesuatu yang di tangannya? Karena kita menjadi saingannya. Kita seolah menjadi saingannya, akan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya karena kecintaan seorang terhadap dunia. Dalam hadis, “Siapa yang tidak minta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” Allah Ta’ala tidak senang jika kita tidak meminta. Sebaliknya manusia tidak suka jika dimintai apa yang di tangannya. Maka, jika kita tidak menginginkan apa yang di tangan manusia, maka manusia akan mencintai kita.

Makna zuhud

Makna zuhud secara bahasa adalah berpaling dari sesuatu sebagai bentuk merendahkannya, seperti ungkapan, “syai’un zahidun” artinya sedikit. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil yang halal sesuai dengan kebutuhan. Zuhud pada dunia secara syar’i artinya membenci apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya.

Banyak ulama menafsirkan zuhud terhadap dunia berlandaskan riwayat Imam Ahmad dari Abu Idris Al-Khaulani, yang mengatakan, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan tidak pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang di sisi Allah daripada apa yang di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala dan simpanannya jika masih tersisa untukmu.” Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jangan bersaksi atas kezuhudan seseorang, karena zuhud itu tempatnya di dalam hati.” Zuhud disimpulkan dalam 3 hal yang semuanya merupakan amalan hati.

Tiga penafsiran zuhud, yaitu:

Pertama: Lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya. Ini tentu tumbuh dari keyakinan yang benar, dan yakin akan jaminan Allah atas rezeki setiap hamba-Nya.

Kedua: Apabila seorang hamba tertimpa musibah dalam urusan dunia, seperti hilangnya harta benda atau anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut. Ini juga berasal dari keyakinan yang sempurna, dan menunjukkan kezuhudan terhadap dunia dan sedikitnya ambisi duniawi.

Ibnu Umar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau membaca sebuah doa,

اللَّهُمَ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ مَعَاصِيْكَ ,وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُكَ بِهِ جَنَّتَكَ ,و مِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبِ الدّنْيَا

Ya Allah, jadikanlah untuk kami bagian dari rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi kami dari kemaksiatan. Jadikanlah untuk kami bagian dari ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu. Jadikanlah untuk kami bagian dari rasa keyakinan yang dengannya Engkau meringankan kami dalam menghadapai berbagai musibah dunia.

Ketiga: Baik pujian maupun celaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh dalam kebenaran. Ini merupakan salah satu tanda zuhud, meremehkan, dan tidak berambisi kepadanya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.”

Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang zuhud:

Hasan Al-Basri berkata, “Orang zuhud adalah jika ia melihat orang lain, ia berkata, ‘Ia lebih baik dariku.’”

Wahab bin Ward berkata, “Zuhud adalah hendaklah kamu tidak putus asa atas kehilangan dunia, dan tidak bahagia ketika mendapatkannya.”

Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang zuhud adalah (orang yang) jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur, dan jika mendapatkan musibah, dia bersabar.”

Imam Ahmad berkata, “Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta orang lain.”

Tingkatan zuhud

Secara umum, ulama membagi zuhud menjadi 3:

Pertama: Zuhud terhadap syirik dan beribadah kepada selain Allah.

Kedua: Zuhud terhadap perkara-perkara yang diharamkan.

Ketiga: Zuhud terhadap yang halal.

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa zuhud terbagi dalam 3 bentuk:

Pertama: Meninggalkan yang diharamkan. Ini adalah zuhud orang-orang awam.

Kedua: Meninggalkan yang halal, akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhud orang khusus.

Ketiga: Meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan dari Allah. Ini adalah zuhudnya ‘arifin (orang yang memahami ajaran Islam secara sempurna)

Sedangkan Syekh Shalih Abdullah bin Hamd Al-‘Ushaimiy ghafarallaulahu berpendapat dalam syarah hadis ini dengan berkata bahwa zuhud memiliki 4 tingkatan sifat, yaitu:

Pertama: Zuhud terhadap perkara haram;

Kedua: Zuhud terhadap perkara makruh;

Ketiga: Zuhud terhadap perkara musytabihat / syubhat yang belum jelas bagi orang itu;

Keempat: Zuhud terhadap perkara yang boleh yang melebihi apa yang dibutuhkan.

Dan beliau berkata, “Zuhud mencakup dalam 4 perkara itu, dan apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak atau belum dikatakan atau tidak termasuk sebagai zuhud.”

Pemahaman keliru tentang zuhud

Pemahaman tentang zuhud yang beredar di antara kita, di antaranya ada yang keliru atau tidak sesuai ajaran Islam. Pemahaman tentang zuhud yang tidak benar adalah memalingkan diri secara keseluruhan dari nikmat-nikmat Allah dan menganggapnya rendah. Serta menahan diri dari menikmati nikmat-nikmat itu, walaupun sedikit.

Zuhud yang salah ini dianut oleh sebagian kaum muslimin pada masa Daulah Abbasiyah ketika melemah. Mereka memakai pakaian compang-camping, tidak bekerja, dan mereka hidup dari kebaikan dan sedekah orang lain. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang zuhud. Padahal, Islam menolak pandangan yang salah ini, melarang bersikap hina, dan berpangku tangan.

Kaum muslimin dewasa ini sudah terbebas dari cara pandang yang salah tentang zuhud ini. Karena mereka semangat bekerja dan mencari yang halal, berlomba-lomba meraih keuntungan dan memakmurkan bumi sehingga ada kekhawatiran melalaikan kehidupan akhirat. Karenanya, kita harus mencari sarana yang bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan membawa kita kepada sikap zuhud. Agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena dengan dunia.

Demikian tulisan kami mengenai amalan untuk meraih cinta Allah Ta’ala. Semoga bermanfaat.

الله أعلم بالصواب

Allahu A’lam bis-shawab

***

Penulis: Refnadi Ferdiantoro


Artikel asli: https://muslim.or.id/102289-hadis-zuhud-untuk-meraih-cinta-allah-azza-wa-jalla.html